مَنْ
عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Barangsiapa
beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang diperbuat lebih
banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al Fatawa, 2: 382).
Jadi biar ibadah puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa
tersebut dengan ilmu.
Kali
ini Muslim.Or.Id akan mengangkat pembahasan puasa dari kitab fikih Syafi’i yang
sudah sangat ma’ruf di tengah-tengah kita yaitu kitab Matan Al Ghoyah wat
Taqrib, disebut pula Ghoyatul Ikhtishor, atau ada pula yang menyebut
Mukhtashor Abi Syuja’. Kitab ini disusun oleh Ahmad bin Al Husain Al
Ashfahani Asy Syafi’i (hidup pada tahun 433-593 H). Lalu matan tersebut akan
dijelaskan dari penjelasan ulama lainnya.
Al
Qodhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Abi Syuja’ mengatakan:
Ada
empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu
menunaikan puasa.
Pengertian Puasa
Puasa
secara bahasa berarti menahan diri (al imsak) dari sesuatu. Hal ini
masih bersifat umum, baik menahan diri dari makan dan minum atau berbicara.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang Maryam,
إِنِّي
نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
“Sesungguhnya
aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah” (QS. Maryam:
26). Yang dimaksud berpuasa yang dilakukan oleh Maryam adalah
menahan diri dari berbicara sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat,
فَلَنْ
أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka
aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (QS.
Maryam: 26).
Sedangkan
secara istilah, puasa adalah:
إمساك
مخصوص من شخص مخصوص في وقت مخصوص بشرائط
“Menahan
hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan
memenuhi syarat tertentu.” (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Dalil Kewajiban Puasa
Allah
Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.
Yang
diwajibkan secara khusus adalah puasa Ramadhan. Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS.
Al Baqarah: 185). Al Qur’an dalam ayat ini diterangkan sebagai petunjuk bagi
manusia menuju jalan kebenaran. Al Qur’an itu sendiri adalah sebagai petunjuk.
Al Qur’an juga petunjuk yang jelas dan sebagai pembimbing untuk membedakan yang
halal dan haram. Al Qur’an pun disebut Al Furqon, yaitu pembeda antara
yang benar dan yang batil. Siapa yang menyaksikan hilal atau mendapatkan bukti
adanya hilal ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar), maka hendaklah ia
berpuasa.
Dari
hadits shahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
بُنِىَ
الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ
، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam
dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)
mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) haji, (5) puasa Ramadhan.”
(HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).
Begitu
pula yang mendukungnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada seorang Arab Badui. Dari Tholhah bin ‘Ubaidillah bahwa orang Arab Badui
pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun
bertanya,
أَخْبِرْنِى
بِمَا فَرَضَ اللَّهُ عَلَىَّ مِنَ الصِّيَامِ قَالَ « شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ
أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا »
“Kabarkanlah
padaku mengenai puasa yang Allah wajibkan.” Rasul menjawab, “Yang wajib adalah
puasa Ramadhan. Terserah setelah itu engkau mau menambah puasa sunnah lainnya.”
(HR. Bukhari no. 1891 dan Muslim no. 11).
Bahkan
ada dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan (Lihat At Tadzhib,
hal. 108 dan Kifayatul Akhyar, hal. 248).
1- Syarat wajib puasa:
islam
Orang
yang tidak Islam tidak wajib puasa. Ketika di dunia, orang kafir tidak dituntut
melakukan puasa karena puasanya tidak sah. Namun di akhirat, ia dihukum karena
kemampuan dia mengerjakan ibadah tersebut dengan masuk Islam. (Lihat Al
Iqna’, 1: 204 dan 404).
2- Syarat wajib puasa:
baligh
Puasa
tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan bagi anak yang sudah tamyiz
masih sah puasanya. Selain itu, di bawah tamyiz, tidak sah puasanya.
Demikian dijelaskan dalam Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 551.
Muhammad
Al Khotib berkata, “Diperintahkan puasa bagi anak usia tujuh tahun ketika sudah
mampu. Ketika usia sepuluh tahun tidak mampu puasa, maka ia dipukul.” (Al Iqna’,
1: 404).
Ada
beberapa tanda baligh yang terdapat pada laki-laki dan perempuan:
- ihtilam (keluarnya mani ketika sadar
atau tertidur).
- tumbuhnya
bulu kemaluan. Namun ulama Syafi’iyah menganggap tanda ini adalah khusus
untuk anak orang kafir atau orang yang tidak diketahui keislamannya, bukan
tanda pada muslim dan muslimah.
Tanda
yang khusus pada wanita: (1) datang haidh, dan (2) hamil.
Jika
tanda-tanda di atas tidak didapati, maka dipakai patokan umur. Menurut ulama Syafi’iyah,
patokan umur yang dikatakan baligh adalah 15 tahun. (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 8: 188-192).
Yang
dimaksud tamyiz adalah bisa mengenal baik dan buruk atau bisa mengenal mana
yang manfaat dan mudhorot (bahaya) setelah dikenalkan sebelumnya. Anak yang
sudah tamyiz belum dikenai kewajiban syar’i seperti shalat, puasa atau haji.
Akan tetapi jika ia melakukannya, ibadah tersebut sah. Bagi orang tua anak ini
ketika usia tujuh tahun, ia perintahkan anaknya untuk shalat dan puasa. Jika ia
meninggalkan ketika usia sepuluh tahun, maka boleh ditindak dengan dipukul.
(Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 14: 32-33).
3- Syarat wajib puasa:
berakal
Orang
yang gila, pingsan dan tidak sadarkan diri karena mabuk, maka tidak wajib
puasa.
Jika
seseorang hilang kesadaran ketika puasa, maka puasanya tidak sah. Namun jika
hilang kesadaran lalu sadar di siang hari dan ia dapati waktu siang tersebut
walau hanya sekejap, maka puasanya sah. Kecuali jika ia tidak sadarkan diri
pada seluruh siang (mulai dari shubuh hingga tenggelam matahari), maka puasanya
tidak sah. (Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 551-552).
Mengenai
dalil syarat kedua dan ketiga yaitu baligh dan berakal adalah hadits,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ
حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena
diangkat dari tiga orang: (1) orang yang tidur sampai ia terbangun, (2) anak
kecil sampai ia ihtilam (keluar mani), (3) orang gila sampai ia berakal (sadar
dari gilanya).” (HR. Abu Daud no. 4403, An Nasai no. 3432, Tirmidzi no.
1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
4- Syarat wajib puasa:
mampu untuk berpuasa
Kemampuan
yang dimaksud di sini adalah kemampuan syar’i dan fisik. Yang tidak mampu
secara fisik seperti orang yang sakit berat atau berada dalam usia senja atau
sakitnya tidak kunjung sembut, maka tidak wajib puasa. Sedangkan yang tidak
mampu secara syar’i artinya oleh Islam untuk puasa seperti wanita haidh dan
nifas. Lihat Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1: 552, dan Al Iqna’,
1: 404.